Hai sobat, gimana nih kabarnya ? semoga baik baik aja ya... di kesempatan kali ini saya akan menulis sebuah artikel yang berisikan beberapa hal tentang cerpen, semoga bisa bermanfaat untuk kalian semua ya.....
Daftar isi :
1.1) Pengertian Cerpen
1.2) Unsur Intrinsik Cerpen
1.3) Contoh Cerpen
Sebenernya apa si itu cerpen?, ada unsur apa aja di cerpen?, dan contohnya seperti apa?. Nah langsung aja ya kita bahas.....
1.1) Pengertian Cerpen
Jadi yang dimaksud dengan cerita pendek ( cerpen ) adalah jenis karya sastra yang menceritakan tentang manusia beserta seluk beluknya dengan tulisan pendek. Cerpen ini harus memiliki kurang dari 10.000 (sepuluh ribu) kata.
1.2 Unsur Intrinsik Cerpen
Unsur intrinsik dalam cerpen antara lain :
1) Tema
2) Alur atau Plot
3) Setting atau latar
4) Tokoh atau Pelaku
5) Perwatakan
6) Sudut Pandang
1.3 Contoh Cerpen
Aku Bagaikan Lilin Kecil yang Menyala
Eh sobat...... perkenalkan namaku Suwarningsih, panggil saja aku Ningsih . Eh... aku mau tanya tentang lilin kecil yang menyala, apa sih yang dapat kamu liat tentang lilin kecil yang menyala? Emm... kamu sering menjumpai dirumahmu lho... ketika listrik dirumahmu padam, kamu menggunakannya untuk menerangi dirimu diwaktu gelap gulita hingga listrik dirumahmu hidup kembali. Hayo...? Apa yang bisa kamu liat dari lilin itu? Hemm... Pastinya kecil, tingginya sedang sekitar 10 cm, mudah meleleh apabila terkena panas. Namun ia bisa menerangi kita diwaktu gelap sampai akhirnya mengantarkan kamu menuju keterangan. Tetapi kemampuannya sangat terbatas. Apabila terkena air dan angin menerpanya maka iya akan padam dan tak bisa menerangi lagi. Namun ia tetap berusaha menjaga nyala apinya hingga berhasil menyinarimu sampai listrik dirumahmu hidup kembali. Namun ia tak selamanya bisa selalu menghidupkan apinya. Lama-lama pasti ia akan meleleh dan nyala apinya pun padam atau mati. Namun ia tak bisa lenyap begitu saja, dari lelehan itu ia akan berubah wujud menjadi keras dan meninggalkan bekas. Seakan-akan adalah jasanya yang tak boleh dilupakan begitu saja.
Sobat..........inilah kisahku bagaikan lilin kecil yang menyala...........
Pagi itu cuaca begitu mendung, namun anehnya burung-burung bernyanyi dan berkicau merdu, meski hari tak secerah yang mereka inginkan, namun seakan-akan burung-burung itu menyambut hari kelahiranku.
Pada hari sabtu, 28 November 1969 aku telah dilahirkan dari pasangan Sukarti dan Sumardjo. Ibuku bernama Sukarti sedangkan ayahku bernama Sumardjo. Ayahku menamaiku Suwarningsih. Ayah dan ibuku sering memanggilku dengan sebutan Ningsih. Ayahku sangat sayang kepadaku, karena aku adalah anak pertamanya. Namun berbeda dengan ibuku. Dia tidak begitu menyukai kelahiranku, karena mungkin sebelumnya ibuku telah mempunyai beberapa anak dari pria lain. Sebelum dengan ayahku. Dan dia telah dikaruniai empat orang anak. Namun hanya tersisa satu yang masih hidup. Dia bernama Parniem, kakak tirikuDan ketiga anaknya telah meninggal diusia bayi.
Eh sobat......, ibuku sangat malang nasibnya, karena ia telah mengalami tiga kali kegagalan dalam rumah tangganya, yang menjadikan ibuku terkena sedikit gangguan kejiwaan. Ia sering marah-marah sendiri dengan ayah, kakak begitu juga denganku yang sering menjadi pelampiasan amarahnya.
Waktu bayi, orang tuaku tak pernah memberiku makanan yang bergizi untuk membantuku pertumbuhan tubuhku. Aku hanya diberikan asi ekslusif dari ibuku, sedangkan ibuku tak pernah memakan makanan yang bergizi. Maklumlah kami adalah keluarga yang hidup digaris kemiskinan. Sedangkan ibu dan ayahku adalah orang yang masih keterbelakangan, yang dilahirkan pada zaman penjajahan Jepang. Maka tak heran, mereka hanya memikirkan kenyang saja tanpa tau makanan yang bergizi. Apalagi pendidikan yang tinggi, mereka sama sekali tidak memperdulikannya. Kakakku Parniem hanya disekolahkan sampai SD saja, itu juga tidak sampai tamat, dipertengahan kakakku keluar dari sekolah. Karena ia malu dengan biaya sekolah yang tak pernah dibayarkan. Kalau dibayangkan mungkin aku tak bisa bersekolah. Tetapi aku "Suwarningsih" tak boleh pasrah begitu saja, haris tetap optimis bahwa aku pasti bisa bersekolah. Karena aku yakin.............. "Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin didunia ini, jika Tuhan menghendaki maja semua ini kan terjadi! Dan kenapa harus menangis selama masih bisa tersenyum? Lalu kenapa air mata keluar saat pedih menyapa? Aku akan tetap berusaha selalu melihat keluar, bahwa disana masih banyak yang lebih susah dariku . Agar aku termotivasi untuk merubah tangisan ini menjadi tawa."
Ketika usiaku baru menginjak satu tahun, aku telah dikaruniai adik laki-laki. Orang tuaku menamainya Suwardijo. Panggil saja Wardi. Orang tuaku menafkai kami dengan penuh keterbatasan. Maka tak heran kami seperti menderita gizi buruk. Sedangkan kakakku Parniem setelah keluar dari sekolah, ia pergi berkerja di kota untuk memenuhi kebutuhannya saja. Tanpa memikirkan keluarganya di kampung. Mungkin Parniem tidak tahan hidup di kampung yang harus selalu mendengarkan ibu dan ayahku bertengkar. Mungkin ia mengalami broken home.
Setelah usiaku beranjak tiga tahun, ayahku pergi meninggalkan ibuku danmenikah lagi dengan wanita kaya dikampung sebelah. Karena aku masih kecil aku tidak tahu kalau ayah telah bercarai dengan ibu. Yang aku pertanyakan hanyalah kenapa ayah tak berada dirumah lagi?. Mulai sejak itu ibuku berjuang seorang diri untuk menafkahi aku dan adikku. Diusiaku yang masih tiga tahun, aku harus mengurus adikku yang baru berusia dua tahun setiap harinya. Karena ibuku harus berjualan dipasar sebagai penjual sayur-sayuran. Ia berangkat berjualan pukul 04:30 pagi. Sebelum berangkat ia selalu menyempatkan untuk membuat sedikit bubur. Setiap kali aku bangun pasti dimeja makan susah tersedia empat piring bubur untuk makan pagi dan siang aku dan adikku. Kami tidak pernah terurus setiap harinya. Mandi saja kami jarang, karena ibuku terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Maka tak heran ia tak pernah mengurus kami. Ia hanya sekedar memberi makan kami. Seakan-akan kami adalah binatang peliharaannya, bukan anak tercintanya. Maklumlah ibuku kan orang yang lahir dijaman penjajahan Jepang yang masih amat terbelakang. Padahal hidupku sudah menuju kearah moderen. Dan yang lebih malangnya lagi, apabila bubur yang telah disediakan ibu telah habis. Aku harus mencari singkong dikebun untuk aku rebus dan kusantap bersama adikku. Setelah matahari mulai membenamkan dirinya. Ibuku barulah pulang, tepatnya pukul 05:00 sore ibu pulang, kami dalam keadaan yang amat lapar. Tetapi untunglah ibu membawa makanan untuk kita santap bersama. Terkadang aku marah dengan ibuku, kerena ia tak pernah memberikan makanan yang sedap dan bergizi. Setiap harinya ibuku hanya memberikan nasi jagung, sedikit bubur, ikan asin yang sangat rusak dan tiruan nasi yang terbuat dari singkong yang sering disebut dengan intil. Kadang aku sangat merindukan rasa nasi beras yang sangat jarang aku makan. Eh sobat tau gak sih... ibuku tergolong orang yang sangat pelit. Setiap hasil uang dagangannya ia tak pernah memberi uang ke kami, tapi ia gunakan untuk disimpan sampai banyak hingga bisa digunakan untuk membeli sawah. Maka tak heran ibuku tak pernah memikirkan apa yang aku inginkan.
Tiga tahunpun berlalu, kini usiaku telah menginjak enam tahun. Aku sangat bahagia dapat duduk dibangku kelas satu sekolah dasar. Aku pikir ibuku tak akan menyekolahkan aku, namun untunglah ada seseorang yang sangat baik dia memberikan pengarahan kepada ibuku untuk menyekolahkan aku dan adikku Disekolah aku termasuk murid yang berpesrasi. Akupun sering mengikuti lomba-lomba disekolah. Namun ibuku tak pernah mau tau tentang diriku disekolah, yang ia tau hanyalah... Apakah anak-anaknya sudah makan atau. Belum? Dan yang lebih parahnya lagi ibuku tidak pernah mementingkan peralatan sekolah untukku, ia hanya memberikan seragam yang ia berikan setiap tahunnya sebagai hadiah lebaran. Maka tak heran aku memiliki banyak seragam sekolah. Sedangkan peralatanku yang lain seperti buku, pengsil, aku tanggung sendiri, bahan biaya sekolah sebagian besar aku tanggung sendiri, tak lupa uang sakupun aku tanggung sendiri. Maka tak heran lagi kalo aku bersekolah dengan penuh keterbatasan. Tak beralas kaki, berransel kantong kresek, berbuku satu, berpenghapus karet gelang itulah aku Suwarningsih. Kadang aku begitu iri dengn teman-temanku yang sangat bahagia menikmati masa kanak-kanaknya dengan penuh perhatian dari orang tuanya. Semua itu sangat berbeda denganku. Dimasa kanak-kanaku, tang seharusnya adalah nasa untuk bermain dengan teman-teman akan tetapi hal itu tak pernah terfikir dibenakku. Setelah pulang sekolah, aku harus berkerja untuk mencari uang. Kadang aku membantu tetanggaku memetik kopi, mencari sisa-sisa jagung yang sudah dipetik pemiliknya, mencari kayu bakar, membersihkan halaman rumah milik tetangga dan masih banyak lagi, yang harus aku kerjakan. Semua itu kulakukan semata-mata untuk mendapatkan uang agar aku dapat melangsungkan sekolahku hingga lulus nanti.
Enam tahun telah berlalu. Aku telah duduk dikelas enam sekolah dasar, aku sangat bahagia karena aku telah berhasil membiayai sekolahku sendiri hingga lulus. Kerena prestasiku yang bagus, akupun sapat masuk ke Sekolah Menengah Pertama dengan cuma-cuma, aku begitu bahagia menerimanya. Namun sungguh malang nasibku kerena biaya sekolah yang teramat mahal. Aku terpaksa harus putus di tengah jalan. Mungkin aku harus menerimanya dam mencari jalan lain yang bisa mengantarkan aku menuju kesuksesan. Lagi-lagi aku iri dengan teman-temanku. Diusia mereka yang cukup dewasa masih saja diperhatikan, dimanja, dan disayang-sayang bahkan meminta uang dengan orang tuapun tak menjadi masalah bagi mereka. Sungguh berbeda sekali dengan nasibku yang teramat malang. Terkadang aku termenung sendiri didepan kaca dan berbicara dengan Tuhan, "Oh Tuhan maafkan aku, tak seharusnya aku begini. Mungkin aku Bersabar dan optimis lalau aku bisa menjalani hidup ini agar bisa lebih baik."
Setelah keluar sekolah, akupun segera mencari pekerjaan untuk melanjutkan kehidupanku, karena kemampuanku yang masih dangkal, terpaksa aku memilih menjadi pembantu rumah tangga. Walaupun gajinya tak seberapa, tapi cukup untuk kami sekeluarga.
Waktu terus berlalu, usiaku semakin bertambah, kini aku telah berusia dua puluh sembilan tahun, mungkin sudah cukup matang untuk menikah. Pagi itu cuaca begitu mendung, petir menggelegar. Namun anehnya tiada hujan yang turun dan burung-burung yang bernyanyi merdu. Kejadian ini mirip dengan hari kelahiranku. Ini pertanda bahwa mereka menyambut hari pernikahanku.
Pada tanggal 29 September 1994 aku menikah dengan seorang dida beranak satu, karena perjodohan. Awalnya aku sangat bahagia menikah dengannya. Dia telah berjanji untuk mencintai dan menyayangi aku dalam kondisi apapun dan siap bertanggung jawab. Tetapi ketika aku sudah mengandung selama 6 bulan. Aku selalu bertengkar dengannya, karena masalah ekonomi. Dia tak mampu menafkahi aku, akupun tinggal bersama orang tuaku. Setiap hari kami hanya bertengkar, pagi, siang, sore bahkan malampun kami bertengkar. Padahal aku sedang mengandung. Aku selalu mengatakan kepada calon bayiku semoga setelah keluar nanti, ia bisa bahagia walaupun masih dalam kandungan ia sudah menjadi saksi bisu pertengkaranku dengan suamiku.
Dua bulan telah berlalu, aku mendapatkan kabar dari ibuku dikampung untuk tinggal bersamanya. Aku dan suamiku pun segera pindah kerumah ibuku. Disana aku telah disiapkan satu petak tanah untuk kubuat rumah. Namun untuk sementara kami tinggal bersama ibuku dulu.
Sembilan bulan lebih telah tiba. Pada tanggal 7 Februari 1996, kami dikaruniani buah hati berjenis kelamin perempuan. Berkulit putih, berbadan gemuk, dengan berat 3,4 kilogram dan berambut hitam lebat. Kamipun sangat bahagia memilikinya. Tetapi ada daya kami tidak bisa tinggal bersama ibuku. Sering kali penyakitnya kambuh, yang menderita sedikit kelainan jiwa. Karena kami tidak mau anak kami menjadi saksi pertengkaran antara suamiku dan ibuku, yang membenci suamiku karena ibuku mempunyai kelainan pada jiwanya yang disebabkan pengalaman masa mudanya bersama suami-suaminya yang meninggalkannya. Itulah mengapa ia membenci seorang pria. Maka tak heran ibuku menganggap suamiku demikian. Kamipun terpaksa menjadi korban pelampiasan kemarahannya. Karena kami sudah tidak tahan lagi, kamipun terpaksa tinggal diwarung makanan yang teramat kecil milik kakakku yang dulu ia gunakan untuk berjualan. Namun karena ia telah pergi bersama suaminya untuk menjauh dari ibu, yang juga senasib sama sepertiku, menjadi amarah ibu.
Aku dengan amat kesederhanaan mendidik buah hatiku diwarung kecil itu. Dengan meneruskan dagangan milik kakakku dulu. Berawal dari berjualan diwarung kecil kami bisa membangun rumah ala kadarnya, namun sudah bisa dikatakan layak dibandingkan tinggal diwarung kecil milik kakakku itu. Kami disitu juga kembali meneruskan berjualan. Namun karena warungku ramai, tiba-tiba ada orang lain yng melihatnya. Ia pun segera membangun warung persis didepan warungku. Karena mungkin warung miliknya lebih menarik, aku tidak menyangka kalau aku kalah saing dengannya. Dengan seketika aku gulung tikar. Waktu itu aku sedang mengandung anak kedua yang hampir 9 bulan. Karena takut tidak ada biaya persalinan sedangkan penghasilan suamiku tidak bisa diandalkan, apalagi anak pertamaku juga membutuhkan biaya hidup. Aku terpaksa berkerja menjadi pembantu rumah tangga. Karena aku tidak mau anak-anakku bernasib sama sepertiku.
Waktu itu majikanku baru pergi ke Jakarta. Dan baju yang harus aku cuci dan ku setrika begitu sangat banyak, selain itu aku harus membersihkan rumahnya. Lagi-lagi calon bayiku harus ku ajak susah dan menderita namun, karena izin Allah aku kuat menjalaninya. Berkerja keras dengan keadaan hamil tua begitu melelahkan kurasakan. Aku selesai berkerja hampir pukul 11.00 malam, akupun segera pulang, diperjalanan pulang aku berjalan dengan terbata-bata bahkan sesekali aku terjatuh. Aku merasakan lelah yang begitu luar biasa, apalagi malam itu begitu gelap tak ada seseorangpun yang lewat. Maka tak ada orang yang busa membantuku berjalan. Akupun harus berusaha berjalan dengan cepat agar aku bisa cepat sampai rumahku. Aku tak mau anak pertamaku menunggu terlalu lama. Eh sobat, aku lupa memperkenalkan anak pertamaku, doa ku beri nama Mentari yang artinya adalah matahari. Aku berharap dia bisa seperti matahari yang bisa menyinari semua orang dan bisa memberikan manfaat bagiKelangsungan hidup semua makhluk hidup dengan sinarnya yang terang. Karena aku tak mau anakku berada dalam kegelapan atau dalam hidup yang susah. Bagiku dia sangat luar biasa, diusianya yang masih 4 tahun. Ia sudah mampu mengerjakan pekerjaan rumah tangga walaupun masih belum sempurna, tetapi sedikitnya sudah mengurangi bebanku. Setiap harinya aku dan suamiku harus meninggalkannya, karena kami harus berkerja keras, namun sesekali kami mengajaknya berkerja apabila pekerjaan kami tidak terlalu berat.
Sesampai didepan pintu rumahku, aku segera mengetok-ketok pintu, tok..tok.. tok... "Assalamualaikum", "Wa'alaikum salam mama" dengan wajah gembira anak pertamaku membuka pintu.
Aku sungguh iba melihatnya, seorang anak kecil berusia 4 tahun harun aku tinggal dirumah sendirian. Karena aku dan suamiku harus berkerja hingga larut malam. "Mama-mama kenapa pulangnya malam sekali?" Tanyanya padaku, "Iya ade, maafkan mama ya.... Ade udah makan belum?", "Udah, ade udah makan" jawabnya lugu. "Ya udah kalo begitu kita tidur yuk.....", "mama-mama ayak kok belum pulang yah?", "Mungkin banyak pekerjaan, sebentar lagi pasti pulang, ade tidur aja yuk...". Air mataku menetes, melihat sikecil menderita.
"Aww sakit sekali!" Tiba-tiba perutku merasakan kesakitan yang luar biasa. "Mama kenapa?", "Ade tolong panggil bude sana.., mama mau melahirkan adik kecil." , "Iya..., tunggu sebentar ya ma.." Jawabnya. Pukul 01.00 malam sikecil kusuruh memanggil kakakku untuk membantuku, tetapi untung saja tiba-tiba suamiku pulang. "Ade mau kemana?", "Ade mau panggil bude, mama sakit sepertinya mau melahirkan.", "Tak usah de, kita bawa saja ke bidan yuk....". Dengan segera suamiku membawaku ke bidan terdekat di desaku. Pukul 04.00 pagi, tanggal 2 April 2002 aku telah dikaruniani buah hati berjenis kelamin laki-laki, berkulit sawo matang, dan berambut ikal, suamikupun segera memperdengarkan alunan-alunan adzan kepada bayiku. Kamipun begitu bahagia memilikinya, lalu kami beri nama Bintang, yang mempunyai cahaya kelap kelip yang begitu indah didalam kegelapan malam. Dengan maksud agar dapat memberikan suasana yang indah walaupun didalam kehidupan yang gelap atau kesusahan.
Satu tahun telah berlalu, kini anakku yang pertama aku sekolahkan di sekolah dasar yang cukup berkualitas, aku tak perduli seberapa besarnyabiayanya, yang penting anakku dapat ilmu yang luas disekolah dengan berkualitas, karena aku ingin selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anakku dan aku tak mau mereka bernasib sama sepertiku.
Awalnya aku terbebani dengan biaya sekolah anakku yang cukup mahal, sedangkan penghasilanku sebagai pembantu rumah tangga dan suamiku sebagai buruh, yang sangat terbatas penghasilan kami. Tetapi aki haris optimis bahwa aku harus bisa membahagiakan buah hatiku. Akan tetapi untung saja anakku selalu mendapatkan juara kelas dan ia sering mendapatkan uang dari hasil prestasinya termasuk mengikuti lomba-lomba sekolah. Maka aku tidak terlalu terbebani dengan biaya sekolahnya. Dan aku sangat bangga memilikinya, membuat aku semakin semangat menjalani hidup ini.
Pada suatu hari anak pertamaku memita sebuah sepeda kepadaku, karena ia telah menjadi juara kelas setiap tahunnya. Ia meminta sepeda sebagai hadiahnya. Aku dan suamiku segera membelikannya namun sungguh malang nasibnya, kami hanya mampu membelikan sepeda bekas untuknya. "Ade sini, coba liat apa yang ayah bawa!" Kata suamiku, "Ayah bawa sepeda..!! Hore..... hore, makasih yah..." Jawabnya riang. Tak kuasa aku menahan air mata ini, melihat buah hatiku harus menerima sepeda bekas sebagai hadiah prestasinya san aku tak menyangka ia dapat segembira itu menerimanya. Begitu gembiranya setiap hari sepeda itu selalu dibawa kemana-mana sampai kesekolahpun ia bawa. Namun pada suatu ketika ia tak mau menggunakan sepedanya lagi. "Mama aku tak mau berangkat sekolah!" Katanya sambil cemberut, "nggak bawa sepeda?" Tanyaku, "Nggak lah!..", "kenapa?", "Mama.... ayah... Aku malu peke sepeda itu lagi!", "kenapa?", " Temen temen bilang sepeda milik Tari jelek, rongsokan!".
Mendengar perkataan anakku itu, aku tak bisa berkata-kata lagi mungkin benar aku salah, yang selalu egois, merasa benar sendiri, sedangkan suamiku selalu aku salahkan. Padahal tanpa aku ketahui dahulu, ternyata ia telah berkerja keras diluar sana. Semenjak kejadian itu, anakku yang pertama kabur dari rumah, aku begitu khawatir dengannya, ku takut terjadi apa-apa dengannya. Akupun mencarinya kemana-mana. Sebelum ia meninggalkan rumah, ia meninggalkan surat yang bertuliskan:
"Ibuku"Kau bawa aku ke alam dunia. Kau teteskan sejuk kehidupan. Kau permata dalam hidupku. Tawamu adalah bahagiaku. Tangismu adalah lukaku. Senyummu adalah harapanku. Sukamu membawaku ke angkasa. Ibu...... Maafkan aku..... Kalau aku belum bisa menghitung jasamu...... Ibu...... Mungkin aku harus pergi meninggalkanmu..... Bahkan mungkin aku harus pergi meninggalkan dunia ini.... Terimalah,..... kau telah korbankan kebahagianmu untuk penderitaanku.... yang berjuang seorang diri... Anakmu mentari.
Oh tuhan kemana lagi aku dan suamiku harus mencari Mentari. Aku tak mau Mentari menderita karenaku. Pada suatu ketika, karena izin Tuhan aku dipertemukan kembali dengan Mentari, aku melihatnya sedang duduk bersama teman-temannya disebuah tempat tongrongannya anak-anak nakal segera aku menghampirinya. "Mentari maafkan ayah dan ibumu nak, kami tak akan bertengkar lagi kami menyesal telah melakukan semua ini." Kataku berbicara didepannya, namun ia hanya terdiam saja. "Mentari kamu pulang ya nak, maafkan ayah yang telah meninggalkanmu.." kaya suamiku dengan wajah penuh penyesalan. "Kak Tari pulang yah, ade kesepian dirumah nggak ada lagi yang membantu ade mengerjakan PR lagi" kaya Bintang lugu. Namun Mentari masih diam saja. Akan tetapi tiba-tiba ia meneteskan air mata sambil memelukku erat. "Maafkan ibu nak, ayah, ibu, ade sangat sayang sama kakak. Kakak adalah anak kebanggan ibu, maukah kamu membahagiakan ibu sebelum meninggal dunia ini." Lagi-lagi aku begitu sedih mendengarkan keluhan anak.
Satu tahun telah berlalu anakku yang pertama harus melanjutkan sekolah kebangku SMP sedangkan anakku yang kedua harus sekolah dibangku SD. Namun kali ini aku tak bisa menyekolahkan anakku yang pertama ke sekolah unggulan. Aku hanya bisa menyekolahkannya di sekolah biasa-biasa saja. Disaat kedua anakku harus bersekolah, aku dan suamiku mengalami kesusahan ekonomi. Penghasilan kami tak sebanyak dulu, sedangkan semuanya kini mahal. Kamipun sering bertengkar, kadang anak pertamaku menjadi pelampiasan amarahku. Mulai sejak itu, aku tak menyangka putriku Mentari mengalami broken home. Presrasinya menurun dan tidak patuh lagi kepadaku, seringkali ia membangkang kepadaku dan suamiku. Mungkin karena ia tertekan dengan sikap kami. Dan mungkin jalan yang terbaik adalah aku harus berpisah dengan suamiku. Namun iatak mau menceraikan aku, lalu ia pun memilih untuk pergi bekerja ke suatu tempat untuk mencari sejumlah uang yang lebih banyak disamping itu mungkin ia juga ingin mencari ketenangan hidup.
Beberapa tahun telah berlalu, tak ada kabar darinya. Akupun semakin membencinya, ia semakin tidak bertanggung jawab dengan keluarganya dan mulai sejak itulah aku harus berjuang seorang diri untuk menafkahi kedua anakku. Namun setelah sekian lama ia meninggalkan aku tanpa pertanggungjawaban, tiba-tiba ia hadir kembali. "Assalamualaikum, Ningsih, Mentari, Bintang atah pulang..", "wa'alaikum salam, buat apa kamu pulang!!" Jawabku lantang, "Ningsih? Kamu tidak mau denganku lagi?", "Tidak!! Dengan senang hati aku menolak!!" Jawabku kesal, "Tetapi bagaimana dengan Mentari dan Bintang, pasti mereka tidak mau pisah denganku, Ningsih..." jawabnya sedih, "Salah ayah, Mentari bukan Mentari yang dulu lagi. Kami Mentari sangat membencimu ayah. Jadi kehadiran ayah tidak lagi kami harapkan lagi!."
Oh Tuhan aku tak menyangka, kebencianku dengan suamiku menjadi kebencian anakku juga. Aku sangat sedih telah memberi contoh hal yang rak patut untuk ditiru. "Mentari apa yang kamu bilang!" Kataku, "Kenapa mama marah, bukankah mama sangat membenci ayah?", "Tapi caramu salah!, karena kamu tuh masih kecil nggak usah ikut campur urusan mama sama ayah, yang harus kamu pikirkan cuma sekolah, makan, main!" Kataku kesal, "Bagaimana aku dapat bersekolah dengan baik, sedangkan kalian seperti itu, kalau mau cerai, cerai ajalah. Gitu aja pusing!!" Jawabnya lantang sambil pergi meninggalkanku. " Suamiku, Tari maafkan mama ya, mama banyak membuatmu sedih...." kataku sedih, "Ia maafkan tari juga, telah lari dari masalah" jawabnya sedih.
Masalah pun selesai, seminggu itu kamu hidup dan damai dengan segala kesederhanaan. Namun suamiku sakit-sakitan, dia telah menderita struk, akupun harus berjuang seorang diri menghidupi keluargaku. Dengan berganti alih profesi dari pembantu rumah tangga menjadi penjual roti dan jajanan pasar yang kubuat sendiri, ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Atas izin Tuhan aku bisa mengantarkan anak-anakku menuju kesuksesan. Putriku Mentari kini berhasil menjadi dosen disalah satu Universitas di Indonesia, sedangkan putraku Bintang telah berhasil menjadi dokter spesialis bedah disalah satu Rumah Sakit diIndonesia. Akupun sungguh bahagia kini hidupku mengalami perubahan drastis, aku begitu mensyukuri nikmatnya. Hingga akhirnya aku termakan usia. Menghembuskan nafas terakhirku karena nyala apiku telah padam.
Inilah perjuangan hidupku, bagaikan lilin kecil yang menyala. Dengan segala kemampuan yang terbatas aku berusaha mengantarkan, menerangi anak-anakku dari kegelapan atau penderitaan menuju keterangan atau kebahagiaan dan akhirnya aku berhasil mewujudkannya. Hingga akhirnya aku meleleh dan mati karena terlalu lama menyinari dengan nyala apinya, makanya aku meninggalkan dunia karen sudah tua. Namun lelehanku mengeras meninggalkan bekas, seakan-akan walaupun sudah meninggal namun jasanya tetap dikenang karena meninggalkan kesan.
TAMAT
Judul : Aku Bagaikan Lilin Kecil Yang Menyala
Karya : Nur Rokhmah Wigati
Editor : Imam Setia Pambudi
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
BalasHapusBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT